Uang Dan Tuhan, Sindiran Untuk Kita Semua.
Pada akhirnya akan sulit kita membedakan ‘martabat’ dari seorang politisi, pejabat, pengusaha, mafia dan Ulama -pemimpin ormas, majelis dan pesantren- dan tokoh agama lainnya.
Jika sekiranya yang menjadi tujuan utama dan akhir disetiap aktivitasnya, bukan idealisme [peradaban], trânsformasi ‘perbaikan’, dan fâlah [kemuliaan akhirât]. Tapi bertemu disatu kepentingan yang sama yakni sama-sama berhajat mencari dan mengumpulkan Uang.
Bayangkan, jika saja para politik ‘menggelar’ kampanye, rapat, reses dan kegiatan politiknya ujung-ujungnya uang. Kegiatan rakyat dan objek kemiskinan menjadi komersialisasi dan industrialisasi.
Undangan rakyat dan umat, dikomersialisasi menjadi kunker atau kunjungan kerja. Para OKP bahkan ormas Islam -agama lainnya- mengadakan musda, munas, muktamar, kongres dan kegiatan umat lainnya diujung juga cerita uang.
Para pemimpin agama dan pesantren serta sekolahnya ketika menyelenggarakan kegiatan sucinya pada akhirnya juga ditutup dengan cerita uang. Para guru, dosen dan juru dakwah ketika menyelenggarakan tugas mulianya juga disenangi karena Uang.
Akedemisi dan peniliti berebut jabatan dengan uang dan demi uang. Penelitian juga dikompensasi dengan Uang. Meniliti secara bersama, tetapi uangnya dimonopoli seseorang atas dasar mentor, seniorisme dan guru. Cerita Tuhan begitu asyiknya tapi ujungnya Uang.
Jika analisis ‘sederhana’ ini dapat diterima dan kita sepakat membenarkannya. Berarti kita telah sama-sama dipertemukan oleh kepetingan, hajat dan tujuan yang sama.
Meskipun ‘didalamnya’ dihiasi oleh dongeng kebenaran, keummatan dan bahkan teriakan untuk membela Tuhan. Itu semua -kamuflase- karena kita telah menciptkan Tuhan baru selain Tuhan Yang Maha Nyata yakni mempertuhankan uang.
Alkisah, suatu ditengah kaum elit dan cendekiawan, melintas lah seorang sufi terkemuka bernama Ibn Arabi. Mereka pun menyapa sang sufi tersebut. “Wahai Ibn Arâbi, duduklah sebentar bersama kami. Berilah nasehat kepada kami!”
Lantas Ibn Arâbi berhenti dan berkata, “Sungguh, sulit aku memberikan nasehat pada kalian, sementara Tuhan-Tuhan kalian masih berada di bawah telapak kakiku!”
Mendengar jawaban itu, sontak orang-orang menjadi murka dan menyerang Ibnu Arâbi. Sepeninggal wafatnya sang sufi tersebut, orang-orang pun penasaran dengan ungkapan Ibn Arâbi yang mengatakan, “Tuhan yang kalian sembah itu berada di bawah telapak kakiku!”
Akhirnya, dibongkarlah di bawah lokasi telapak kaki yang pernah dipijakkan oleh Ibnu Arabi tersebut. Betapa terkejutnya mereka mendapati setumpuk emas permata terdapat di sana.
Jadi wajarlah Ibn Arabi mengatakan bahwa “Sulit menasehati orang-orang yang di dalam hati mereka selama ada tuhan-tuhan sesembahan lain, selain Allah.” Sebab, tuhan yang mereka pertuhankan bukan lagi Allah Swt, melainkan harta kekayaan, materi keduniawiaan yang bisa dikompensasi dengan uang.
Uang telah membeli kebenaran, kehormatan dan mengambil alih kekuasaan Tuhan. Agama diatraksikan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Itulah praktik kita hari ini. Sejatinya semua itu hina dan rendah dalam pandangan orang-orang yang mengejar kenikmatan akhirat.
Ya Allah, ampuni dan lindungi serta selamatkan kami dari ‘kebiadaban’ ini. Kami butuh uang, tapi tapi jangan biarkan kami mempertuhankan uang. Karuniai makrifat-MU, luruskan niat kami, sehingga perjuangan kami selain untuk kemuliaan dunia juga karena kerinduan untuk bertemu keridhoan-MU, Surga-MU dan ‘Wajah-MU’. Aamiin
W a s s a l a m
alfaqir Tuan Guru Batak
Syekh H. Dr. Ahmad Sabban Elramaniy Rajagukguk, MA